Hilirisasi sejatinya bukan paradigma baru dalam ekonomi industri karena sudah sejak lama disiplin ekonomi industri tunduk pada prinsip pentingnya peningkatan nilai tambah dalam setiap proses industrialisasi, termasuk hilirisasi.
Istilah hilirisasi pada dasarnya sebagai respon atas kegagalan peran ekonomi berbasis komoditas yang tak berhasil menjadi penghela pertumbuhan ekonomi akibat harganya di pasar dunia berjatuhan.
Karena itu, sejak pemerintahan SBY hingga kini, hilirisasi menjadi salah satu isu kebijakan industri nasional yang dinilai bersifat strategis untuk pendalaman struktur industri, terutama yang berbasis sumber daya alam.
Hilirisasi Industri
Komitmen pemerintah ini jelas untuk mendorong hilirisasi di Indonesia. Clear dalam arti dilihat dari perspektif strategi dan kebijakan industri. Tetapi belum tentu serta merta secara pragmatis dapat dieksekusi karena berbagai kondisi yang perlu diperhatikan. Beberapa di antaranya dapat dielaborasi sebagai cermin adanya dilema dan trade off.
1. Hilirisasi Hakekatnya Bisnis
Secara pragmatis pasti memerlukan investasi yang tidak kecil. Peminatnya pasti bukan investor pada umumnya, tetapi investor industriawan. Sementara itu, dalam penguasaan bisnis perkebunan, mineral dan batubara, umumnya mereka adalah para investor yang hanya berorientasi pada perolehan yield dan profit, apa lagi saat harga komoditas naik.
Kita tahu, karekteristik hillirisasi membutuhkan pembiayaan dalam jumlah besar. Selain itu, mempunyai imbal hasil (yield) yang rendah, berjangka panjang, dan/atau berisiko tinggi, sehingga tidak menarik bagi perbankan maupun investor pada umumnya, meskipun memiliki outcome economic yang tinggi.
2. Hilirisasi Memerlukan Aturan
Menjalankan kebijakan hilirisasi memerlukan tata aturan yang clear and clean dalam satu kerangka yang utuh dan komprehensif, serta berada dalam satu sistem in the one direction. Ini mutlak diperlukan karena banyak titik singgungnya yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lingkungan hidup maupun lingkungan sosial yang kompleks.
Jika kerangka kebijakan dan tata aturannya berserakan dimana-mana, maka sulit berharap secara pragmatis akan menjadi lahan investasi yang menarik, meskipun secara strategis mampu menghasilkan outcome economic yang tinggi. Ini adalah dilema dan trade off paling krusial, sehingga penanganan di area ini tidak cukup hanya memerlukan komitmen saja dari pemerintah dan para pemangku kepentingan yang lain, tetapi memerlukan pengorganisasian yang solid, rapi dan in the one direction tadi.
3. Satu Zonasi Industri
Hilirisasi harus dibangun dalam satu zonasi industri yang berada dalam satu jaringan primer dekat mulut tambang atau kebun, dan pada jaringan skunder dan tersier harus ada dalam jangkauan infrastruktur fisik yang efisien, dan jaringan distribusi yang juga efisen karena ujungnya harus bermuara di pasar, baik pasar dalam negeri maupun ekspor.
Catatan ini penting disampaikan karena kebijakan pemerintah yang baik, banyak yang gagal dikapitalisasi karena salah urus, dan terlalu banyak yang mau nimbrung dengan berbagai banyak kepentingan.
4. Industri adalah Bisnis
Kita tahu bahwa berindustri adalah berbisnis. Tentu di dalam prosesnya terjadi bauran yang kompleks. Bauran ini dimulai dari hulu sampai ke hilir.
Maksudnya adalah hilirisasi diawali dengan adanya sebuah perencanaan, ditunjang oleh adanya strategi dan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam berbagai kerangka regulasi, termasuk didalamnya ada sistem insentif dan disinsentif. Dan akhirnya, akan bermuara pada kegiatan investasi dan praktek bisnis untuk mendapatkan benefit, yield dan profit, dimana secara riil di pasar akan terjadi persaingan yang ketat.
5. Politik Yang Baik
Inilah mengapa industrialisasi selalu memerlukan proses politik yang baik, membutuhkan kepemimpinan yang kuat, dan manajemen yang rapi dan solid, karena industrialisasi selalu terlahir dari sebuah ‘revolusi’, ‘reformasi’ dan ‘transformasi’.
Proses ini berlangsung baik di tingkat nasional maupun regional dan global. Di dalamnya selalu memunculkan beragam “kontroversi” karena menyangkut masalah politik ekonomi nasional. Misalnya memilih pengembangan sektor tradable atau non tradable.
Contoh lain apakah perlu intervensi pemerintah atau sepenuhnya diserahkan saja pada mekanisme pasar, atau ketika ekonomi global seperti sekarang ini lesu, apakah boleh kebijakan proteksi dapat diberlakukan secara terbatas, atau biarkan saja sistem perdagangan bebas berjalan, toh pada akhirnya akan terjadi titik keseimbangan baru.
Muatan-muatan politis semacam itu acap kali muncul sebagai sebuah fenomena, dan jika tidak diatasi, pasti akan menjadi kontraproduktif yang bisa mendistorsi terhadap rencana dan kebijakan yang dibuat sendiri oleh pemerintah.
Isu idealnya yang strategis tergerus oleh isu pragmatis karena pemerintah saat ini lebih memberikan perhatian pada pengamanan industri padat karya. Isu kebijakannya menjadi bergeser dari persoalan yang strategis ke masalah yang bersifat pragmatis.
Pergeseran kebijakan adalah hal biasa karena fungsi utama dari produk kebijakan harus adaptif dan responsif terhadap keadaan yang riil terjadi di masyarakat.
Hilirisasi tetap penting dan menyelamatkan industri padat karya juga harus dilakukan karena sekian juta orang bekerja di sektor padat karya seperti di industri TPT, alas kaki dan sepatu, industri makanan dan minuman dan sebagainya.
6. Peran Pemerintah
Keenam, terkait dengan semuanya itu, maka pemerintah tidak boleh mundur selangkah pun untuk melakukan hilirisasi, bahkan harusnya juga hulunisasi karena ini perintah konstitusi seperti diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Artinya, hilirisasi dan hulunisasi bagi Indonesia bersifat given, tapi harus dibangun dalam koridor keekonomian, tidak boleh at any cost, apalagi at all cost.
Investasi pemerintah secara langsung sangat diperlukan, baik melalui BUMN yang sudah ada maupun dengan membentuk BUMN baru. Selanjutnya, kebijakan pembangunan industri primer, skunder dan tersier yang bersifat strategis bagi kepentingan negara semestinya dituangkan dalam satu kerangka kebijakan in the one direction yang dituangkan kedalam Perpres.
Ditulis oleh: Drs. Fauzi Aziz, Pemerhati Masalah Sosial Ekonomi dan Industri
Tantangan Hilirisasi Industri di Indonesia